Senin, 04 Mei 2009

Biaya kelahiran laki-laki lebih mahal

Suatu hari ketika memfasilitasi kelahiran bayi di hutan (2004), saya dikejutkan dengan perbedaan besar biaya persalinan oleh dukun melahirkan. Kalau yang lahir bayi laki-laki maka besar biaya melahirkan adalah Rp. 450.000,- sedangkan kalau perempuan Rp. 350.000,-. Mengapa berbeda? Di lingkungan hutan dimana “okol” lebih dikedepankan maka peran laki-laki dinilai sangat penting. Beberapa pekerjaan yang termasuk okol adalah memotong dan memikul pohon, pecah batu di hutan, dan mengolah tanah untuk perkebunan.

Pria juga terlibat politik. Rapat-rapat warga di dusun sampai desa masih diwarnai dominasi kehadiran pria yang tinggi. Kehadiran sekolah di sekitar mereka belum bisa mendobrak perbedaan ini. Meski tersedia sekolah tetapi seringkali kemauan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi jarang diminati kaum hawa. Kaum hawa masih lebih banyak yang memilih menikah di usia muda. Kehadiran beberapa perempuan yang pulang kampung setelah beberapa masa bersama suami dari kota atau perantauan (dimana dunia okol sudah diperdebatkan) menunjukan perbedaan dengan perempuan yang menetap di kampung. Namun kehadiran perempuan ini yang hanya sementara saja di kampong tidak memberikan dampak apa-apa terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan.

Namun di tengah kondisi yang mengagungkan pria, perempuan menunjukkan mengurai kelemahan pria dan kelebihan perempuan. Ditunjukkan bahwa pria tidak akan kuat menduda sehingga segera menikah lagi. Dengan beberapa contoh kecil perempuan menceritakan misalnya, seorang duda akan repot menyuguhkan makanan kalau ada tamu. Sedangkan seorang janda mampu hidup sendiri. Penelusuran saya mengatakan bahwa memang hampir tidak dijumpai duda melainkan janda. Perempuan juga bercerita bahwa mereka terlibat dalam “pencarian kayu”. Saya tidak mengatakan bahwa gambar tulisan ini menunjukkan wanita yang sedang menggendong kayu curian, melainkan seorang perempuan yang mencari bahan untuk kayu bakar.

Para pria mengklaim bahwa mereka terlibat dalam keputusan-keputusan rumah tangga. Tetapi untuk hal inipun disanggah oleh perempuan. Perempuan mengatakan bahwa uang keluarga merekalah yang memegang. Setiap keperluan suami mereka control. Hal ini terlihat misalnya dalam membelanjakan keperluan untuk tanam. Pembelian bibit, pupuk, dan lainnya sangat memaksa pria untuk berunding dengan istri mereka.

Jadi darimana datangnya perbedaan harga kelahiran bayi laki-laki dan perempuan? Di ranah budaya, dominasi pria terus saja dipertanyakan kaum perempuannya. Mungkin dalam ranah “enyel-enyelan” semata!

Anton Nur

Senin, 27 April 2009

“Antara Petani Blandong (Kayon) dan Baon”


Kalau mau kayu ya harus ikut baon, begitu kata seorang penduduk hutan mengomentari beberapa warga lain yang selesai melakukan blandong tetapi selama beberapa waktu itu tidak melakukan kegiatan baon. Baon dan blandong adalah istilah yang berbeda. Pada saat yang lalu ketika pengelolaan hutan masih dipegang kolonial, blandong adalah kegiatan menebang dan mengangkut kayu di hutan. Seiring perubahan pengaturan pengelolaan hutan, masih oleh kolonial waktu itu, blandong tidak hanya menyangkut penebangan dan pengangkutan kayu, tetapi meliputi pula penanaman lahan bekas tebangan. Penanaman kembali lahan bekas tebangan inilah yang dinamai baon. Berbeda dengan saat itu, pada saat sekarang ini, baon meliputi pula penanaman tanaman palawija oleh penduduk yang hasil sepenuhnya dimiliki petani baon, syaratnya petani ikut merawat tanaman pokok Perhutani (jati) di lahan baon mereka. Sedangkan istilah blandong sudah dihapus. Blandong yang masih hidup hanya yang hidup di kalangan masyarakat sendiri, dimaknai sebagai mencuri kayu.

Di antara penduduk ada sebutan “kayon” untuk para pelaku blandong. Memang mungkin semua penduduk hutan pernah blandong, tetapi kira-kira kayon merupakan sebutan untuk membedakan antara yang betul-betul tergantung pada mencuri kayu dan yang mencuri kayu untuk kebutuhan seperlunya misalnya untuk membuat rumah. Ada perbedaan perilaku antara kayon dengan penduduk hutan. Kayon mempunyai gaya hidup tinggi sehingga enggan mengerjakan lahan. Mereka merasa bahwa hasil dari kayu sangat besar bahkan setelah dipakai untuk kebutuhan rumah dan makan-minum di warung. Daerah-daerah dimana pencurian kayu marak memang terdapat banyak warung. Warung yang dimaksud adalah warung kopi dimana disajikan pula biasanya makanan kecil dan besar. Kayon juga biasanya terlibat minuman keras. Warung-warung menyediakannya. Warung juga kadang menyediakan jasa seks. Ada sebutan “warung ayu” dimana penjual, tetapi tidak mesti, menjajakan pula dirinya di luar kegiatan dagang untuk seks.

Jadi memang ini sangat berbeda dengan penduduk hutan kebanyakan dimana pertanian dan perkebunan merupakan tumpuan hidupnya, yang digelutinya siang malam dengan daya upayanya untuk memperoleh hasilnya. Bahkan penduduk yang demikian menunjukkannya ketika mereka mengusahakan kayu untuk kebutuhan mereka. Mereka tidak langsung menebang pohon melainkan mencoba membeli dari penduduk lainnya. Bahkan ditemukan penulis mereka meminta langsung pada petugas dalam hal ini biasanya Mantri Hutan. Permintaan yang dilakukan dengan baik sangat sulit ditolak oleh mantri hutan sebab permintaan biasanya dating dari petani yang baik perilakunya dan permintaannya atas kayu juga tidak terlalu banyak dan tidak terlalu bagus. Petani demikian sangat berharga bagi mantri hutan sebab membantu dalam kegiatan penanaman jati dan penggarapan baon. Mantri hutan hampir tidak mungkin berhasil tanpa mereka sebab keterbatasan tenaga tanam dan waktu. Apalagi lahan hutan butuh diolah dan jati sebagai tanaman pokok Perhutani juga perlu dirawat. Keluasan satu kemantren biasanya sekitar 700 sampai 1200 hektar, sedangkan tenaga tanam Perhutani hanya 3 (tiga) orang saja.
Anton Nur

VIKE dan tanaman lain bagi penduduk hutan Ngawi


103 petani Gunung Rambut beberapa waktu yang lalu terdaftar ingin mencoba menanam tembakau Virginia Kecil (VIKE). Hanya separo yang benar-benar menyebarkan benih. Dari sekitar separo petani yang menyebar, setengahnya sampai saat ini lumayan. Maksudnya, pada saat ini beberapa petani sudah ada yang memetik daun serta mengeringkan dan mengopennya. Beberapa yang lain masih baru berwujud tanaman. Sisanya masih menanam di bedengan.
Orbrolan dengan beberapa petani menggambarkan optimisme. Tetapi yang lain masih ragu dengan keberlanjutan VIKE. Mereka menemukan beberapa masalah karena baru kenal. Disamping itu beberapa mengalami kegagalan baik karena hujan yang masih saja ada atau teknis penanaman yang “pas”. Beberapa petani mengaku menerapkan sesuai dengan yang diberikan pihak Sampoerna dan gagal, beberapa lagi mengaku memakai teknik yang berbeda dengan sampoerna dan berhasil.



Bagaimanapun kami setuju bahwa kehadiran VIKE dan sampoerna ini sangat penting. Terutama, jika dikaitkan dengan jenis tanaman lain seperti jagung dan kedelai maka tembakau ini (mungkin-karena belum ada yang menjual) lebih menguntungkan. Kami sepakat bahwa penanaman perdana VIKE ini merupakan tahap perkenalan. Perkenalan yang penting karena jika berhasil tanaman ini akan melengkapi referensi penduduk hutan yang sebelumnya melulu kedelai dan jagung.



Toh perhitungan panen kedelai saat ini tidak juga menggembirakan. Harga yang biasanya diatas 3000 rupiah per kg, kini tinggal 2300-2500 rupiah per kg. Pak Sadiran, seorang penduduk hutan yang termasuk rajin dan telaten di pertanian, menceritakan kepada saya bahwa panen kedelainya dihargai 2300 per kg. Kali ini panennya hanya dapat 2,86kwintal. Nilai jualnya adalah 286kg dikalikan 2300 rupiah sehingga dia memperoleh total Rp. 657,800.
Biaya yang dikeluarkan adalah pupuk kimia 1 sak atau 120 ribu, semprot pestisida 25 ribu, tenaga luar 35 ribu, selep kedelai 52 ribu. Total pengeluaran 232 ribu. Keuntungannya adalah 657.800-232.000, yaitu 425.800 ribu. Jika tenaganya dihitung maka ia mengaku lebih dari 15 kali mengerjakan lahan kedelainya. Taruh saja biayanya 15 hari kali 20 ribu, maka sudah ada Rp. 300.000. Kalau ini dimasukkan sebagai komponen biaya maka keuntungannya menjadi Rp. 425.800 dikurangi Rp. 300.000 sehingga tinggal Rp. 125.800.



Rp. 125.800 adalah keuntungan bersih selama 3-4 bulan umur kedelai (dari persiapan sampai panen). Jadi Rp. 125.800 dibagi 3 bulan maka pendapatan per bulan adalah Rp. 41.934. Dibagi 30 hari sebulannya, maka per hari keluarga ini mendapatkan Rp. 1.398. Pak Sadiran mempunyai tanggungan 4 orang sehingga Rp. 1.398 dibagi 4 orang. Maka jatah per orang dalam keluarga Pak Sadiran adalah Rp. 349 per hari.
Pak Sadiran termasuk petani yang rajin dibandingkan yang lain. Ia mempunyai kambing 2 ekor dan sapi kecil 1 ekor. Dibandingkan dengan 200 kk penduduk di dusun dalam hutan itu, Pak Sadiran termasuk petani yang lumayan berhasil dalam soal pertanian.



Pak Sadiran kini menebar 4 bedeng VIKE dan berharap tanaman tembakaunya yang mulai tumbuh itu dapat menghasilkan. Di depan saya Pak Sadiran ini juga sedang membuat kesepakatan dengan tetangganya yang mempunyai banyak kotoran sapi untuk diolahnya menjadi kompos. Setelah jadi, kompos akan dibagi antara yang mempunayi kotoran sapi dengan Pak Sadiran sebagai pembuatnya.



Lalu pembicaraan kami beralih ke pupuk kimia yang harganya melambung..
Kenaikan harga pupuk kimia mulai tanggal 17 mei 2006 menjadi topic yang menarik dibicarakan antara saya, Pak Sadiran, dan Pak Rebu pemilik kotoran sapi yang akan diolah Pak Sadiran. Menurut saya, sepanjang perjalanan saya di hutan-hutan, saya tidak lagi menemui tanaman jagung yang bagus dan besar-besar. Saya juga tidak menemukan petani kedelai yang gembira karena panen. Saya menemukan tanaman jagung yang tidak sehat dengan buahnya yang kecil-kecil. Ramai warung sehabis panen kedelai juga tidak saya lihat dan saya rasakan di beberapa tempat di dalam hutan. Rupanya, menurut saya yang usaha kompos ini, tanah sudah rusak.
Dahulu menanam kedelai cukup dengan membuat lubang kecil lalu meletakkan beberapa butir kedelai kedalamnya. Setelah itu, alam yang mengurusnya. Sekarang, petani harus mengolah tanah dahulu, lalu memupuk, penyemprotan, dan masih banyak yang lain. Penduduk hutan menyakini bahwa lapisan subur di tanah telah tergerus air. Lalu bayangan saya langsung kepada penggundulan hutan, penambangan batu secara liar, dan beberapa yang lain seperti pembukaan lahan sawah di sepanjang aliran mata air.



Saya tahu hampir semua penduduk di hutan adalah pencuri. Semua menunjukkan kepada saya kayu glondongan atau yang sudah terpotong rapi yang semuanya dari hasil mencuri. Lalu mengapa mereka berbicara soal kerusakan tanah, membuat kompos, dsb kepada saya dengan lantang?



Gunung rambut adalah sebuah dusun kecil di dalam hutan. Perjalanan saya di hutan menemukan beberapa kawasan desa,dusun, atau anak dusun di dalam hutan dengan kondisi yang sama atau bahkan lebih parah. Hampir semuanya miskin. Seringkali yang terlihat kaya dipenuhi issue ilmu hitam. Dengan kemiskinan yang teramat sangat serta lokasinya yang “jauh” dengan pemerintah maka merusak alam –sesuatu yang berada antara sadar dan tidak sadar- menjadi pilihan mereka.
Pendapatan Legal Penduduk Dalam Hutan Di Ngawi Rata-Rata di bawah Rp. 500,- (lima ratus rupiah).

Anak Dusun Penthuk dan Mbamban adalah anak dusun di tengah hutan Ngawi. Bersama dengan Dusun Gunung Rambut, Penthuk dan Mbamban adalah RT3 dan 4 di dusun itu. Secara administrasi Dusun Gunung Rambut terletak di Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi. Letak antara Gunung Rambut dimana RT 1 dan 2 berada, terpisah 1 km dengan Penthuk dan Mbamban. Kawasan lain yang disurvei adalah Dusun Kaligede yang terletak di tengah hutan Ngawi pula. Secara administrasi masuk Desa Ngrancang, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi. Ada lagi satu kawasan yang dilihat sebagai bagian penelitian ini yaitu Anak Dusun Watu Pawon yang terletak di tengah hutan yang secara administrasi masuk Dusun Jurug, Desa Dumplengan, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi.

Jumlah responden penelitian ini adalah 73 Kepala Keluarga (KK) atau kurang lebih 30 persen dari jumlah KK yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif menggunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kuesioner, diskusi terfokus, dan observasi partisipatif yang dilakukan peneliti dari Forest Link. Pengumpulan data Januari 2004 pada petani dipilih secara acak. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai tulisan, buku, yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini. Penelitian ini bermula dari berbagai kebijakan daerah seperti pesangon dewan yang mencapai 50 juta per orang. Menurut anggota dewan dalam wawancara dengan Jawa Pos Radar Madiun, besar pesangon dinilai pantas karena selama 5 thn belakang ini PAD Ngawi naik 20 miliar. Mereka bahkan mengatakan bahwa kalaupun dinaikkan sampai 100 juta, pesangan sebesar itu tetap pantas bagi dewan.

Perilaku lembaga -yang bisa menentukan legal dan iilegal- yang menurut kami sangat bertentangan dengan kondisi penduduk di kawasan hutan Ngawi yang "untuk tetap bisa makan kudu mencuri (nyolong)". Penduduk melakukan pengusahaan kayu bakar dan arang yang semuanya diusahakan dari kayu dengan panjang antara 0.5-1 m dengan diameter di atas 4 cm atau yang menurut Perhutani sudah melanggar aturan. Juga terkait dengan usaha pecah batu dimana penduduk mengusahakan batu di lahan Perhutani untuk dijual sebagai bahan bangunan, atau yang lain lagi, misalnya (saya hati2 tentang yang ini, menyangkut nasib yang lain lagi menyangkut pembukaan lahan hutan untuk tumpangsari sebelum waktu yang ditentukan Perhutani (mbaon nekat).

Dalam penelitian ini kami mencoba menghitung penghasilan penduduk dari pekerjaan mereka yang "legal" dan bukan dari pekerjaan yang kami sebutkan di atas. Betapa sulitnya menghitung penghasilan penduduk dalam hutan yang kebanyakan petani itu tetapi kami berusaha tetap mencobanya. Akibatnya banyak hal kami coba hingga cukup bisa mendekati untuk memperoleh tujuan kami tersebut. Setiap tahun mereka menanam jagung dan kedelai. Meski pola ini tidak begitu pasti tetapi kebiasaan penduduk adalah seperti itu. Beberapa dari mereka mungkin menanam kacang brul (kacang tanah) atau juga ketela tetapi sangat jarang dan hanya sedikit dari penduduk melakukan itu. Kacang misalnya, ditanam oleh hanya sedikit orang saja, atau ketela yang hanya ditanam sekitar pinggir atau batas dalam sebuah lahan. Tanamam ini pada tingkat tertentu dianggap mengganggu tanaman pokok seeprti jagung atau kedelai. Penghasilan lain juga dicoba didapatkan dalam penelitian ini dan perolehan penduduk selama satu tahun yang lalu didapatkan seperti terlihat di data atas.

Penduduk mengusahakan tanaman tumpangsari tersebut di lahan tegalan sendiri dan atau lahan Perhutani (baon=tumpangsari). Lahan di tegalan dan baon menurut penduduk sangat jelek dan kebanyakan terdiri dari tanah krecuk atau kerapak, sangat sulit mendapatkan tanah yang begur. Mereka masih memakai pupuk kimia dengan komposisi yang berebda-beda tergantung pengalaman penduduk dengan ahan yang mereka kerjakan. Beberapa penduduk tidak mengambil baon karena kondisi lahan yang buruk dan jauh dari perkampungan dan jalan. Jika mereka telah mendapatkan lahan baon yang baik mereka enggan berpindah, sedangkan yang tidak mendapatakn lahan baon yang baik, mereka mengerjakannya dengan konsekuensi kerugian atau hasil minim sehingga seringpula meninggalkan lahan baonnya begitu saja.

Kami sepakat untuk menghitung penghasilan dari panen tanaman jagung dan kedelai yang ternyata memang hanya bisa mereka tanam dua kali dalam satu tahun, jadi setelah satu kali menanam jagung mereka melanjutkannya dengan menanam kedelai. Setelah musim hujan berakhir, mereka tidak melakukan aktivitas pertanian lagi tetapi beralih ke yang lain (apa yang lain?). Dari perhitungan panen jagung dan kedelai kami coba menghitung penghasilan mereka selama satu tahun, perolehan pendapatan per hari per KK, dan rupiah konsumsi per hari per orang dalam satu keluarga. Karena dari mereka ada pula pengusahaan pertanian dengan menanam kacang, ketela, dan tebu, atau kegiatan yang lainnya, maka kami mencoba pula untuk mendapatakan penghasilan mereka selama satu tahun dari pertanian ditambah dengan pendapatan lain-lain yang kami bisa dapatkan dari hasil diskusi dengan responden, penghasilan per KK per hari, dan perolehan rupiah per hari per orang dalam sebuah keuarga.

Dalam diskusi terfokus kami dengan responden dan penduduk, kami mendapatkan untuk tidak memasukkan ternak sebagai modal yang cukup bisa diandalkan untuk bisa menghasilkan rupiah. Data kami mengatakan bahwa kepemilikan ternak oleh penduduk banyak yang malahan berkurang dan tidak bertambah. Kondisi ini diperburuk dengan rasa nrimo penduduk jika ternaknya mati karena penyakit, takdir, kata mereka.
Alias, ternak menurut kami bukan modal yang bisa dipertahankan keberlanjutannya. Pada saat ini kondisi ternak sangat buruk meski penduduk rata-rata menyisihkan 5 jam per hari untuk ternak. tetapi secara sosial mereka juga terancam tersisih. Pendidikan mereka yang masih rendah serta mereka jarang ke kawasan pinggir hutan atau kota (kurang dari 3 kali kepinggir hutan atau kota) membuat mereka sendiri menyimpulkan sebagai masyarakat yang kurang "srawungnya".

Kami memperoleh gambaran yang dari pengamatan dan tanggapan dari penduduk luar kawasan hutan –termasuk yang dipinggir hutan- bahwa penduduk di dalam kawasan hutan itu terbelakang. Menilik sejarah selama orde baru, mereka memang sering disebut sebagai masayarakat SAMIN, atau bahkan tersangkut dengan unsur PKI. Temuan kami juga mengatakan bahwa di tempat mereka dahulu sering dijadikan tempat pembuangan orang gila dari kota.

Represif setiap hari dibalas resistensi setiap hari pula. Jika pendapatan penduduk di kawasan hutan itu sangat kecil bisa dilihat dari pendapatan per hari per jiwa, yaitu 75% berada di bawah Rp. 500,- rupiah. Tetapi mengapa kemudian mereka bisa makan kenyang? dan kebutuhan lain-lain seperti kesehatan, sekolah, pengusahaan lahan, membayar pajak, listrik, sumbangan, dll mereka banyak yang bisa memenuhinya? Kalau dihitung, dari mana selisih uang diperoleh? Dugaan kami adalah bahwa selisih tersebut diperoleh dari "pekerjaan lain-lain" (nyolong).

Seandainya pemerintah dan DPRD peka dengan kondisi ini maka alokasi APBD bisa lebih baik. Akan sangat memalukan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat di hutan ini karena kawasan dimana responden dipilih ini tidak jauh dengan pusat pemerintahan, hanya 6-15 km dari pusat pemerintahan kabupaten.Pembiaran terhadap kondisi ini akan sangat berakibat fatal pada kondisi sosial Kab. Ngawi dan perlu segera sewenang-wenang akan berakibat pada gambaran bahwa pemerintah melakukan represif pada masyarakat lokal hutan. Represif dan bukan hanya kemiskinan akan mengancam pula sumber daya hutan dan ekuivalen dengan kerusakan hutan di Ngawi. Jika represif ini berlarut-larut bukan tidak mungkin memunculkan opini yang sangat kuat bahwa pemerintah bukan hanya membiarkan penduduk untuk melakukan pencurian (nyolong), tetapi juga memotivasi secara aktif penduduk untuk "juga" melakukan pencurian.

Rabu, 22 April 2009





Siaran Radio Petani Gunung Rambut dari hutan Ngawi

Cerita siaran radio petani Dusun Gunung Rambut, Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, sebuah kawasan dalam hutan Ngawi (KPH Ngawi) pada tanggal 6 Agustus 2003 di RKPD Ngawi pukul 19.00 – 21.00 WIB. Pembicaraan dalam bahasa Jawa tetapi ditulis dalam tulisan ini dalam bahasa Indonesia. Mungkin akan ada beberapa kata dalam bahasa Jawa yang akan dipertahankan untuk memberikan arti atau konotasi lokal.

Dalam siaran tersebut, sebagai pembicara adalah seorang pegawai PTT[1] di SDN Pitu II yang letaknya di Gunung Rambut dan seorang buruh tani asli Gunung Rambut. Ada pula Saya dan seorang pendamping teknis dari CV. Lembah Hijau Multifarm[2] (Evi) untuk urusan detail pupuk dan pakan ternak. Dua orang dari Gunung Rambut (GR) tersebut menjadi narasumber untuk hal-hal yang akan dibicarakan dan untuk menjawab seandainya ada pertanyaan dari pemirsa karena acara ini live.

Headphone sudah ada di telinga mereka dan beberapa saat seorang buruh tani GR bernama Lanimen menyalakan rokok lalu menghisapnya dalam-dalam mencoba rileks. Saya sendiri mengamati jangan sampai mereka menjadi turun mentalnya gara-gara atmosfir studio RKPD. Saya sebetulnya lebih senang jika acara ini diselenggarakan di GR tempat mereka tinggal.

“Ini judulnya apa?” Tanya Moderator dari RKPD.
Kami saling berpandangan lalu pegawai PTT SDN Pitu II bernama Purwoko nyeletuk: ”Pengembangan Pupuk Organik di GR”. Saya sendiri sebetulnya setuju dengan “pemulihan”, tetapi bahasa seperti ini susah dimengerti dan akan sulit diukur keberhasilannya hanya dengan mengandalkan acara siaran radio ini. Pikir Saya, oklah, mungkin nantinya ke pemulihan ekonomi dan sosial.

Ucapan selamat malam dari Moderator disambung dengan kenyataan yang ia temukan sendiri bahwa pengajaran pupuk organik di beberapa kawasan desa di beberapa kecamatan di Ngawi yang cukup padat (luar kawasan hutan) tidak berkembang pada praktek. Artinya petani hanya menerima penyuluhan dinas-dinas tetapi tidak /jarang ditindalanjuti dengan membuat pupuk organik oleh petani. Saya juga mendengar bahwa beberapa desa yang disebutkan Moderator telah dibantu Dinas Infokom dengan maksud mendengarkan acara Kontak Tani di RKPD ini. Sedangkan petani GR pernah pula menerima bantuan berupa radio bekas dari yang Saya kumpulkan yang merupakan sumbangan pribadi orang-orang.


“Nama Saya Lanimen dari GR. Saya petani GR. Sampai saat ini Saya ketua dari Masyarakat Garis Hutan[3]. Pekerjaan Saya sehari-hari adalah buruh tani..”
“Petani tetapi punya tanah?” Tanya Moderator
”Tidak punya tanah,”Jawab petani GR ini.
“Masak tanah se “kedok” (jengkal) nggak punya?” Tanya Moderator lagi.
“Punyaknya Mertua,” kata Lanimen.

Perkenalan lalu juga menyangkut Saya dan Evi dari CV. Lembah Hijau Multifarm. Lalu si Moderator bernama Bambang ini berbicara lain-lain supaya Kami juga bisa tampil dengan lebih santai dan tidak kaku. Ia juga memaparkan keheranannya bahwa kesempatan berbicara di RKPD ini dilakukan oleh petani dari GR (yang terpencil di tengah hutan).

“Terima kasih kepada RKPD Ngawi yang sudah memeberikan waktu dan kesempatan sehingga Kami bisa tampil dalam.. apa, Pak?” Tanya Purwoko.
“Dialog Kontak Tani,”jawab Moderator.
“Dialog Kontak Tani. Kami juga berterima kasih pada Dinas Pertanian Ngawi. Juga salam sejahtera bagi semua penduduk GR, dimana Kami bisa berbicara pada Kontak Tani ini. Sebelumnya Saya minta maaf kepada Pak Lurah dan Pak Camat, Kami lancing tidak memberitahu dulu bahwa GR akan ada acara siaran radio di Kontak Tani. Pertama kali di GR ada pupuk ini, Mas Anton[4] yang memberitakan. Dolan-dolan. Sebetulnya tidak dolan, tetapi ngangkat, atau meneliti bagaimana to kesejahteraan penduduk hutan itu[5]. Setelah tahu benar, Mas Anton menyimpulkan bahwa penduduk GR sangat susah hidupnya. Saya akan menjelaskan letak GR, GR berada di tengah hutan, kanan-kirinya hutan. Terus hidupnya dari apa? Ya Saya akui saja, orang di tengah hutan itu hidupnya dari hutan[6]. Kalau hutannya habis, trus maua makan apa orang GR itu? La, ini, Dusun GR terbagi atas 4 RT, luas 53422 m2. Terus KKnya ada 186. Kalau dibagi 186 itu dan luasnya hanya 53422m2, itu berapa? Setiap KKnya hanya sekitar 280m2. Kurang lebih seluas itu, lha itu apa bisa makan?” Kata Purwoko.

“Nyatanya bisa makan..,”sela Moderator.
“Karena dari hutan itu Pak. Lha dari sini Mas Anton kleang-kleang Kami ajak bicara lalu tercetus, ayo buat pupuk organik untuk mengalihkan, kalau bisa makannya dari “tlethong”(kotoran sapi). Sebetulnya ya, tidak setuju,” kata Mas Purwoko.
“Tlethong diubah dulu kok,” kata Moderator
“Lha, Tlethong diubah dulu kalau sudah dijual. Bisa untuk makan. Tetapi nuwun sewu, Pak, GR itu mengajukan sapi saja (Program Dinas Kehewanan) malah nggak dapet. Betul itu Pak, Kami nggak omong kosong, betul,”kata Purwoko.

Saya sudah sampaikan kepada Bupati, bahwa program yang Kami lakukan selain menambah pendapatan juga untuk memberi percontohan bagi petani di Ngawi. Sebagai informasi, pakan ternak belum tersosialisasi di Ngawi. Bahkan mungkin belum diterapkan sama sekali. Bupati menjanjikan secara pribadi akan meminjamkan 15 ekor sapi betina. Tetapi sampai sekarang belum ada jawaban. “Pelan-pelan,” kata Bupati. Sedangkan petani Kami sudah lari ke depan.

Disampaikan juga tingkat pendidikan penduduk GR, yang terbanyak yaitu SD.
“Yang lainnya sudah jalan jauh, lha kok “sandalnya” ada yang ketinggalan. 55% SMP, lainnya tidak sekolah. Jarak dengan kota hanya 7 km, Pak,”kata petani GR.
“Sebetulnya dekat,”sela Moderator.
“Dekat, tetapi ya minta maaf, Expa hari jadi Ngawi tahun lalu (tahun 2003) Saya sampai kaget. Saya bersalaman dengan Pak Bupati sepanjang hidup Saya baru pertama kali itu. Salaman saja Saya sampai kaget: “GR itu mana, Mas?” Tanya Bupati saat itu. Sampai tidak tahu, Pak. Padahal itu dekat. Berbeda dengan Kecamatan Ngrambe atau Sine (sekitar Gunung Lawu). Pak Bupati hafal. Lha itu, Pak, sekilas tentang GR,”kata petani GR.

“Lha ya, kok tahu-tahunya lho (Saya). Lho, yang nyata, luas dan terang itu ada. Apa namanya GR itu dipuncaknya ada rambutnya gitu,”canda Pak Moderator.

Lalu pembicaraan selama beberapa menit mengenai bagaimana pupuk organik bisa berkembang dan diterima oleh penduduk GR. Cerita bagaimana petani melewati proses mendengar dan melihat (tour di Lembah Hijau-Solo), membuat pupuk organik dan mencobanya, bahkan menganalisa hingga akhirnya muncul rasa senang. Rasa senang atas pupuk ini pada awalnya terkait dengan kemudaha perolehan bahan baku dan bahan campuran serta masih murahnya produk teknologi berupa bakteri kompos. Tetapi setelah mengetahui bentuk fisik dan kemudahan penggunaan serta hasil panen, maka penerimaan terhadap produk lebih mantap.

“Ini begini, Pak. Sudah diungkapkan rekan Saya, bahwa pupuk tadi, awalnya hanya dibiayai oleh swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat itu bukn berarti Kami mengumpulkan uang dari masyarakat itu tidak lho, Pak. Jadi hanya kelompok, kelompoknya berapa, 8 orang. Lho kok dinamalan kelompok? Lha yang namanya tletong itu banyak yang jijik, lho Pak. Masing-masing lalu mengumpulkan kotoran sapi.”

Ini berkaitan dengan cerita Saya bahwa konotasi tletong di kalangan penduduk sendiri adalah negative. Seseorang disebut tletong berarti orang itu dicap sebagai ornga yang sering menipu. Masing-masing anggota kelompok mengumpulkan sampai 60 pikul sehari. Setelah dibuat, pupuk organik yang sudah jadi tidak dijual melainkan disebar k lahan sednrii dan lahan tetangga (sebagian anggota kelompok bahkan tidak banyak yang memiliki lahan).

“Sebetulnya Kami juga agak kuatir Pak. Karena tanaman kurang hijau. Lha, kok mau mati tanaman ini? Tetapi dibiarkan saja, Pak, ini karena pupuk kimia susah mencarinya karena transportasi. Setelah panen itu, nama petaninya Sadiran anaknya Pak Sadikun, kalau di GR itu namanya “Mbandang” (mengalir), Pak. Memikul satu sak itu berat sekali. Hal ini sudah Kami uatarakan sama Pak Bupati sewaktu Kami ikut seminar. Sekarang pupuk ada di Kecamatan Mantingan, salam buat Pak Muhadi, kelompok Pak Muhadi yang sudah memakai pupuk GR 4 ton dengan luas lahan 2 hektar. Ini Kami siaran radio di kontak tani RKPD, Mas Muhadi, moga-moga mendengarkn. Pupuknya berhasil itu. Mereka mengurangi pemakaian pupuk kimia tinggal 25% dari pemkaian sebelumnya.”

Pupuk GR memang sempat dicobakan oleh penduduk GR di lahan sekitar mata air. Hasilnya tidak bisa dihitung kiloan tetapi berdasarkan sak atau berat sak dibandingkan dengan sebeluumnya. Ada pula tanaman lain seperti tembakau dan lombok. Lokasi ujicoba pupuk GR dilakukan pula di Kecamatan Mantingan yang sangat jauh dari GR. Ini dimaksudkan agar uji coba tidak bisa Kami curangi tetapi Kami bisa tetap mendapatkan keterangan yang sebenarnya dari petani di Mantingan.

Lalu diceritakan secara detail oleh petani GR, bahan-bahan kompos: kotoran sapi, abu, kalsit, serbuk gergaji. Penjelasan juga menyangkut pembuatan kompos yaitu pengadukan setiap minggu selama 4 minggu. Soal panasnya pupuk sewaktu dalam pengolahan sampai 70 derajat celcius, pengayakan sampai dengan penyajian ke konsumen. Kami juga membandingkan dengan pupuk organik yang lain yang selama ini diajarkan ke petani. Saya sendiri mendengar bahwa untuk sosialisasi pupuk organik tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan 400 juta rupiah. Kami dalam siaran radio tidak menyebut pupuk tersebut tetapi yang dimaksud adalah pupuk bhokasi. Sebagai perbandingan, pupuk bhokasi bentuknya masih tletong, wajar saja sebab pembuatannya juga Cuma 5 hari. Per ha 3-4 ton. Pemakaian pupuk kimia dikurangi 25% dari pemakaian. Pupuk Kami, proses 1 bulan, bentuknya remah, per ha 1,5 ton, tidak bau, dan pengurangan pupuk kimia bisa mencapai 75%.

Moderator lalu bertanya bagaimana meyakinkan konsumen pupuk GR.
“Begini Pak, Kami dalam hal ini sedang membuat uji coba dengan Dinas Pertanian Ngawi. Ini baru saja lho Pak. Dengan Dinas Pertanian baru saja. Sebelumnya ya seperti “kelinci lepas” (“kelinci ucul” judul selingan acara). Tidak ada yang membantu. Yang membantu ya Mas Anton ini yang juga kayak kelinci lepas. Uji cobanya dengan tanaman padi. Kini Kami juga melangkah untuk tanaman melon di Desa Ngambong Kecamatan Pitu, dan tebu di Desa Papungan Kecamatan Pitu Kabupaten Ngawi.”

“Tanaman tebu di Papungan sedangkan padi dengan Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Pengkol, Kecamatan Mantingan Kabupaten Ngawi. Kelompok Sumber Rejeki itu baik Pak, tetapi ya itu Pak, sapinya, Pak. Kalau sapinya diberi gitu, kotorannya tidak kemudian mengangkut dari tetangga.”

“Bisa mengurangi kimia 50-75% Pak. Kalau di GR itu pakai organik. Kalau ¼ ha itu pakai (urea) 25 Kg sudah baik.”
“Jadi masih pakai urea tho?” Tanya Moderator.
“Iya, tapi kalau petaninya berani, bagaimana ini adanya kok mau mati? Kalau tidak tahan tidak apa-apa. Tetapi kebanyakan petani tidak tahan Pak, kalau dengan lingkungan. Kalau model petani Ngawi itu kan masih malu-malu soal “ijo-ijoan” (berlomba menghijaukan daun). Lha pupuk GR itu yang baku buahnya. Buahnya Saya jamin itu Pak.”

Dengan pupuk GR, per ha memang hanya 1,5 ton per ha. Dengan pemakaian pertama mengurangi pupuk kimia sampai 50% dari pemakaian biasanya. Pemakaian kedua hanya 25% dari biasanya. Selanjutnya hanya 1 Kw pupuk kimia saja per ha-nya.

“Tadi bicara kok sapi nggak punya, mbok yoo pemerntah meminjami,” kata Moderator.
“Dulu itu ada cerita lucu Pak. Sebetulnya program sapi kereman itu sudah survey ke GR. Lha, Saya dan teman-teman senang sekali. Akhirnya, hujan-hujan dengan Mas Anton mencari damen (jerami). Pikir Kami, ah wong pemerintah memikirkan rakyatnya, ya Kami menyediakan pakannya. Pakan yang jerami fermentasi itu baik Pak. Contohnya di Lembah Hijau, yang dimakankan ke sapinya ya tletong itu Pak. Lho kok tletong, iya wong tletongnya nanti dijual. Kalau sudah laku dibelikan jerami dan obat, jadilah jerami fermentasi, sangat bagus.”

“Wah, ini cocok jadi karyawan Lembah Hijau ini,” kata Modrator disambung tawa semua yang hadir di situ.
“Ndak hanya karyawan, asistennya Mbak Evi,” tertawa lagi.

“Ini Saya lanjutkan Pak. Hal-hal seperti itu belumbisa tertunjang, jadi penelitian detail kurang karena fasilitas kurang,” kata petani GR.
“Sudah pernah mengajukan sapi ke Dinas Kehewanan?” Tanya Moderator.
“Sudah, kemarin itu ditolak itu.”
“Alasannya?”
“Memang waktu itu ditanya, mau apa tidak mengembalikan sapi kalau sapinya mati? Ya Kami keberatan. Lha bagaimana untuk mengembalikan, wong untuk makan saja susah. Pendapatan di GR per KK 2000 rupiah per hari[7]. Jadi Kami keberatan.”
“Nggak jadi dipinjami?”
“Ndak jadi, satu saja tidak, ya tletongnya tetap mengusung tadi Pak,”Kata petani GR.

Waktu itu Saya sendiri tidak ada di GR ketika ada survey dari Dinas Peternakan. Saat itu Saya di petani Kalikangkung-Blora untuk pendampingan yang lain. Menurut Saya, tidak bisa pertanyaan itu diajukan ke petani miskin di GR. Atau setidaknya ada alternative lain sehingga petani GR tetap bisa terlibat dalam program sapi kereman ini.
Waktu itu, niat Kami, selain meningkatkan pendapatan petani GR juga adalah memberi percontohan untuk integrated farming system di Ngawi yang saat itu masih sedikit sekali.

“Lha apa sudah ada kemasan sendiri untuk pupuk organik?” Tanya Moderator.
“Masih sak biasa, wong anggaranya belum ada. Ya itu, sekenanya. Biasanya kan kalau penjual yang baik kan barang itu disak, ditimbang, lalu dijahit. Ini ndak, dimasukkan sak, dijahit, lalu ditimbang. Ya ada yang 50Kg sampai 60Kg. Tetapi meski hanya dengan sak kualitasnya sangat baik,”kata petani GR.

“Tetapi sekarang ini kualitas itu lihat tulisannya,e. Meskipun ketika membeli ternyata tertipu,” kata Moderator.
“Ini begini, Pak. Kalau melihat jaminan itu gimana? Kalau petani GR itu, seperti yang terjadi di Watuwalang-Ngawi, petani yang beli pupuk didampingi sampai panen. Jadi yang mendampingi itu petani GR sendiri. Pernah panen ½ ha itu 4,9 ton dan laku semua. Rata-rata kenaikan hasil panen per ha 1,1-1,2 ton per ha, itu menurut konsumen lho Pak. Mereka kagum, bukan hanya dengan pada produk tetapi juga dengan GR, lho kok barang bagus datangnya dari sana: Lha, ya. Petani Watuwalang dan GR itu maju mana tho, kok orang sini beli produknya orang sana (GR).”Kata seorang juragan tani kepada teman-temannya,” kata Saya.

“Ok, sekarang kan waktu sudah mau habis, ada yang mau disampaikan oleh Mas Anton? Tentang rencana ke depan, seperti beras organik misalnya…” Tanya Moderator.
“Lha, begini Pak, beras organik itu sekarang kan banyak sekali. Tetapi orang-orang tidak tahu informasi yang disebut beras organik itu yang bagaimana karena beras organik itu adanya disana-sini di took. Kalau ada tulisannya beras organik lalu dibeli.Kalau Saya begini Pak, Saya punya angan-angan ini, ya nantinya petani GR tidak usah punya program yang muluk-muluk. Kalau bisa semua petani di GR itu pertama-tama memakai pupuk organik. Nantikan… lha ini Saya pernah kesiangan di GR lalu diajak makan dengan nasi organik bikinan petani GR sendiri,” Kata Saya.
“Orag di GR bisa membedakan?” Tanya Moderator.
“O ya, rasanya pulen dan tahan lama, begitu orang GR memberi komentar pada beras mereka,” kata Saya.
“Cita-cita Saya dan kelompok ini, kalau bisa semua penduduk di GR itu makan beras organik itu, bikian sendiri. Harapannya nanti kan orang kota pada ngiri tho Pak. Orang di GR yang katanya bodo, terbelakang, kuno, itu makannya kok sudah beras organik. Kalau Kami (Saya bersama kelompok ini) hanya mempublikasikan situasi ini nantinya. Ngabar-ngabari kalau orang GR sudah makan beras organik,”.
“Lha, kalau ada yang mau beli beras organik GR gimana?” Tanya Moderator.
“Ya, main ke sana (GR),”jawab Saya.

Ini salah satu program Saya agar muncul pemulihan karakter dari yang direpresif kepada resistensi positif. Di samping itu agar terjalin relasi yang kuat bukan hanya dengan sesama di dalam hutan tetapi dengan masyarakat luar kawasan. Banyak hal akan kembali, seperti terkupasnya stereotip negative terhadap penduduk dalam kawasan hutan. Resistensi dan penghapusan stereotip masih berlanjut sampai hari ini (22 April 2009) bahkan setelah siaran saat itu, Bupati dan Dinas-Dinas tidak menyentuh penduduk GR. Kelompok petani Mantingan mendapatkan bantuan hibah sekitar 40 juta rupiah. Sedangkan janji meminjami sapi oleh Bupati juga tidak turun. Petani GR kini berusaha dari bawah lagi, bahkan stater komposnya membuat sendiri.




[1] Pegawai PTT. Tetapi ia juga sering dan bahkan tercatat sebagai petani hutan. Sebagai penduduk hutan ia juga tidak terlepas dari aktivitas terkait dengan hutan seperti yang dilakukan tetangga sekitarnya.
2 CV. Lembah Hijau Multifarm adalah perusahaan pembuat stater untuk kompos. Saya dari awal gerakan berniat mengundang banyak pihak dari banyak bidang untuk ikut terlibat membantu penanganan masalah-masalah yang ada di GR, mulai dari rumah sakit, kelompok-kelompok agama, lembaga-lembaga penelitian, LSM, media surat kabar, radio maupun televisi, pemerintah daerah, bahkan pribadi-pribadi yang tidak sedikit keterlibatannya dalam penangan masalah.
3 Masyarakat Garis Hutan adalah kelompok petani GR terdiri dari 8 orang. Saya melibatkan banyak kegiatan dengan mereka. Aktivitas sosial sampai dengan riset sosial Kami lakukan bersama-sama.
4 Anton, nama Saya.
5 Saya sangat senang melakukan penelitian, semi etnografi. Penelitian saya yang pertama tentang pedagang Malioboro telah dibukukan, harapan saya pendampingan ini juga bisa dibukukan, merekam kehidupan penduduk hutan sehingga berguna untuk membentuk strategi baru bagi pihak-pihak yang akan berniat membantu peningkatan hidup penduduk di hutan Ngawi.
6 Ada aturan bahwa yang masuk kategori kayu bakar lelang adalah kayu dengan diameter 2-4 cm. Kalau dikritisi, semua bahan kayu yang digunakan penduduk hutan untuk arang maupun dijual untuk kayu bakar ke luar hutan, lebih dari diameter 4 cm. Meski penduduk hutan memperoleh pendapatan dari kayu bakar dan arang tetapi Kami enggan untuk memasukkan hal ini sebagai pendapatan. Bagaimana sebuah pendapatan tetapi diperoleh dari pekerjaan illegal?
7 Saya pernah melakukan riset mengenai pendapatan legal penduduk hutan. Saya memilih beberapa lokasi di dalam hutan. Ternyata pendapatan dari pekerjaan legal adalah sekitar Rp. 500 per keluarga. Kalau dilihat penduduk hutan punya beras tetapi beras didapat lewat aktivitas illegal yaitu membuka sawah di sepanjang aliran mata air di kawasan Perhutani. Mereka bisa banyar sekolah, pajak, kebutuhan rumah tangga sebab selain pekerjaan legal (kebanyakan menggarap lahan milik Perhutani) mereka juga mengusahakan pekerjaan illegal seperti pecah batu dan mencuri kayu. Meski demikian beberapa penduduk terbilang mampu namun hanya sedikit saja. Sedangkan yang miskin banyak. Biasanya karena hasil pertanian dan perkebunan yang tidak menunjang atau bekerja sebagai buruh tani (terutama tebu) dengan pendapatan yang minim saja. Seorang petani kecil memperoleh panen kedelai 12 Kg dari lahan ¼ ha misalnya, padahal ada biaya pupuk dan tenaga.

Sabtu, 18 April 2009

Mencuri kayu dengan ilmu klenik




Kami (saya dan penduduk hutan Dusun Gunung Rambut Ngawi) membuat pakan ternak untuk percontohan dengan penduduk. Pakanternak sekitar 2 ton untuk persediaan selama 4 bulan. Jerami fermentasi.Pupuk organik sudah jalan, dan nunggu untuk dituangkan ke lahan pertanianyang disediakan secara sukarela oleh petani.Semua ini akan menjadi sarana bagaimana petani belajar tentang pertanian,melakukannya secara sendiri, menganalisa secara sendiri, dan menentukanpilihan mau memakai, menerapkan, membuang, atau menyempurnakannya. Maklum mereka petani marginal.Setelah ini, kami mau produksi 30 ton, bahannya sudah ada, sebagianngambilnya di Getas, Jawa Ttengah. Semua tanpa biaya selain stater komposnya.Petani hutan merasa senang dan merasa lebih berharga. Mereka lalubercerita tentang mencuri kayu. Pertanyaan saya tentang mencuri kayu ini timbulsewaktu kami mengambil serbuk gergaji di daerah Getas.Di sana saya nggak boleh bawa foto karena sehari sebelumnya adapenggledahan. Mereka mengatakan bahwa pencurian kayu tidak akan berhentisampai kayunya habis. Mereka menyebut oknum petugas yang mengajak pendudukmencuri. Penduduk difasilitasi dengan sepatu karet milik perhutani.Pendudukjuga melakukan pencurian meski ada operasi gabungan. Mereka memakaiistilah "njajal" (mencoba) petugas. Jika dibiarkan mereka akan mencuri terus. Adajuga istilah "mageri", mereka memakai ilmu klenik untuk mencuri kayu.hasilnya bagus, mereka tidak ketahuan. Apa yang menarik dari mereka adalahbahwa ketika saya ajukan pertanyaan bagaiaman kalau ada bagi hasilpengelolaan hutan (kayu) mereka mengatakan hal itu tidak akan jalan.Pertama, sebab tuntutan mereka sebetulnya tidak muluk-muluk. JAdi, kalauprogram Perhutani yang sudah ada itu jalan, maka penduduk sudah senang.Misalnya terkait dengan pemeliharaan hutan sekitar memtong dahan kayu jatiatau pemberian pupuk atau yang lain lagi tercatat dicatatan saya sampai 15kegiatan. Kedua, tuntutan itu tuntutan dari luar yang nilai yang dianutnyaadalah ekonomi. Ketiga, petani merasa akan ditipu saat pembagian,mengingat Perhutani sekarang serba tertutup.

Rabu, 08 April 2009

Menyelamatkan Dieng Dengan Pupuk Organik

Awal Nopember 2008 lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk melatih pembuatan kompos pada petani di Dieng. Di Dieng ada masalah besar, Dieng hancur bagi petaninya dan bagi Dieng pada umumnya. Pertanian kentang bukan favorit lagi karena seringnya penyakit seperti phytoptora dan fusarium menyerang tanaman kentang. Dugaan kami karena mereka tidak paham, yakni memakai kotoran ayam mentah sebagai pupuk dan pemakaian pestisida yang berlebihan. Per ha memakai kotoran ayam naik dari 20 ton di tahun 1990, menjadi 30 ton di tahun 2000. Kelemahan kotoran ayam mentah untuk kompos adalah karena banyaknya penyakit yang dibawa yang merusak tanah dan merugikan tanaman. Karena kotoran ayam masih mentah dan menjadi panas ketika lapuk di tanah, maka berpotensi melukai tanaman. Ketika tanaman luka maka jamur masuk ke dalam luka tersebut. Jamur mengundang hewan lain untuk memakannya. Termasuk ketika sekelompok petani Dieng menfitnah orong-orong sebagai pemakan kentang, maka sebenarnya orong-orong memakan jamur. Pertanian kentang menjadi tidak favorit juga karena belanja pestisida petani semakin meningkat. Petani rata-rata mengeluarkan anggaran tidak kurang dari 15 juta rupiah per ha. Menurut informasi petani, ada 350 jenis pestisida diperdagangkan di Dieng. Tidak cukup dengan pestisida yang ada, petani memakai obat serangga rumah tangga untuk membunuh hama tanaman. Petani mengatakan bahwa semakin lama hama dan penyakit tanaman bertambah banyak, bahkan pada saat ini ketika pemakaian pestisida ditingkatkan. Secara umum, pemakaian kotoran ayam yang meningkat dan belanja pestisida yang sangat besar ternyata tidaklah meningkatkan hasil pertanian, tetapi bahkan hasil menurun pada saat ini. Menurut petani, hasil panen kentang sebelum tahun 2000 bisa mencapai 20-30 ton. Tetapi pada saat ini panen 15 ton sudah termasuk beruntung.
Kehancuran Dieng tidak saja diperlihatkan karena kegagalan bertanam kentang seperti pada masa lalu tetapi perlakuan atas lahan kentang menghancurkan Dieng sebagai hunian nyaman bagi wisatawan dan penduduknya. Penulis ingin melihat dari dua hal disebutkan di atas selain masalah lain seperti penebangan pohon dan air yang sering diangkat di media massa, yaitu pemakaian kotoran ayam mentah sebagai pupuk dan pemakaian pestisida. Pemakaian pupuk kimia relative sedikit, 1 ton per ha. Pemakaian kotoran ayam mentahlah yang sangat mencolok menimbulkan masalah. Ada sekitar 8.000 hektar lahan kentang di Dieng baik yang terletak di Wonosobo dan Banjarnegara – keluasan lahan masih bertambah pada saat ini. Seandainya per ha lahan memakai 30 ton kotoran ayam mentah, maka dibutuhkan 240.000 ton per masa tanamnya yaitu sekitar 5 bulan. Kotoran ayam dibeli dari para agen yang menampung kotoran ayam dari berbagai daerah. Kotoran ayam sebanyak itu didatangkan dari berbagai tempat yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan bahkan Jawa Timur seperti dari Surabaya. Per saknya dijual antara 7.000 rupiah sampai dengan 17.000 rupiah tergantung dari banyaknya campuran. Semakin sedikit bahan ikutan seperti sekam maka harganyapun mahal. Begitu dibeli dari agen, atau langsung dari pemilik kotoran ayam, maka barang disimpan di depan rumah dalam sebuah ruang sempit, atau langsung ke dekat lahan. Ironisnya, lahan kentang sekarang berada di dekat rumah, sekolah, tempat wisata (candi dan telaga), dan tempat penting lainnya. Sedangkan bau yang ditimbulkannya sangat tidak sedap. Kotoran ayam mentah sebanyak itu telah menjadi sumber bau tidak sedap di segenap tempat di Dieng. Konon, bau tidak sedap tersebut mengurungkan niat wisatawan berkunjung ke Dieng. Konon pula, bau khas kotoran ayam tersebut membuat jumlah warung di Dieng berkurang. Lalu bagaimana dengan kondisi penduduk dan anak-anak mereka? Maka kondisi tersebut diperparah dengan penyemprotan pestisida untuk tanaman kentang. Kebanyakan tanaman kentang berada di wilayah atas dan lokasi rumah-rumah penduduk berada di lembah. Pestisida disemprotkan pagi dari sebuah tong plastik berisi pestisida dan air yang diletakkan di atas kendaraan roda empat, dan dialirkan pada selang yang panjang ke bagian atas dengan tenaga diesel. Pemandangan yang sering terlihat adalah daun tanaman kentang yang berwarna keputih-putihan yaitu warna khas pestisida. Seandainya 8000 ha lahan kentang disemprot pestisida dalam ukurun banyak, maka bagi penduduk dan anak-anaknya, penyemprotan pestisida tersebut bak hujan racun yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Bagaimana dampaknya pada kehancuran lingkungan Dieng? Kotoran ayam mentah adalah bahan pupuk organik. Kotoran ayam belum bisa disebut pupuk sebelum mengalami proses dekomposisi (proses menjadi kompos). Gambaran sederhananya adalah, ibarat beras, maka sebelum dimasak, beras tidak bisa dimakan manusia. Beras dengan demikian harus dimasak hingga menjadi nasi. Demikian, bahan organik mentah tidak bisa dikonsumsi langsung oleh tanaman tetapi harus mengalami dekomposisi menjadi bahan yang siap dimakan oleh tanaman. Juru masak bahan organik mentah menjadi pupuk organik adalah pengurai dan bakteri. Dugaan penulis, karena kotoran ayam yang dipakai petani Dieng berasal dari peternakan ayam potong, maka penyuntikan antibiotik pada ayam potong berpengaruh pada keberadaan bakteri di dalam kotoran ayam. Bakteri akan sedikit dan mengurangi kemampuan dekomposisi kotoran ayam. Didukung pula dengan pemakaian pestisida yang luar biasa banyaknya maka bakteri sebagai hewan terkecil akan mati terlebih dahulu dan akhirnya berpengaruh pada proses dekomposisi bahan organik. Tidak seperti pupuk organik, bahan organik mentah akhirnya tidak memiliki fungsi-fungsi pupuk organik di antaranya kemampuan menyerap air. Munculnya lahan gambut di sekitar tepi telaga di Dieng diduga karena kotoran ayam yang terbawa air ke dataran dibawahnya. Lahan gambut dalam hal ini terbentuk karena waterlogged bahan organik yang sulit diolah oleh aktivitas bakteri.
Menurut penulis, penyelesaian masalah di atas adalah antara lain dengan sosialisasi dan pelatihan pupuk organik secara luas disertai dengan uji coba di lapangan. Salah satu ciri pupuk organik yang baik adalah tidak berbau. Pada tahun 1980, sebelum petani memakai kotoran ayam mentah, petani memakai pupuk organik dari bahan jamur. Kepada penulis petani menceritakan bahwa kemudian mereka ditipu. Setelah itu mereka beralih ke kotoran ayam, lebih lagi karena kotoran ayam berbau sehingga tidak mungkin ditipu. Maka menjadi tugas ke depan adalah melatih dan mendorong petani untuk membuat pupuk organik sendiri. Bahan kotoran hewan memang tidak tersedia banyak di Dieng, tetapi bahkan petani dapat mengusahakan bahan dari lingkungan sekitar seperti dari limbah kentang, tumbuhan lain dan sumber alam lainnya di Dieng. Dari informasi yang dikumpulkan penulis, terdapat kelompok petani kentang organik di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Nama kelompoknya adalah Perkasa. Mereka memang baru belajar memahami pupuk organik. Beberapa anggotanya bahkan sudah menerapkan pemakaian kompos di lahan kentang beberapa kali. Seorang petani bercerita bahwa ia mengalami kerugian 200 juta rupiah sebelum akhirnya ia memanen 50 ton per ha kentang, sebuah jumlah panen yang sangat besar yang belum pernah dihasilkan petani sejak tahun 1990. Ia memakai pupuk organik dari hasil belajar sendiri. Pemakaian kotoran ayam berkurang, demikian juga dengan pestisidanya. Keuntungannya tentu berlipat karena pupuk organik dibuatnya sendiri dari bahan di sekitarnya.
Dengan pupuk organik maka diyakini penulis, akan menyejahterakan penduduk Dieng bahkan bagi penduduk yang hanya pekerja. Upah pekerja di Dieng sangat rendah. Untuk yang perempuan maka bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 3 siang diberi upah 10.000 sampai 12.000 rupiah. Upah tersebut sudah termasuk makan dan minum. Karena itu seandainya petani kentang beralih ke pupuk organik, maka jumlah kebutuhan pupuk organik sangat besar dan penduduk setempat tentu dapat lebih terlibat dalam penyediaan pupuk organik yang bahan-bahannya ada di sekitar Dieng. Keuntungan dengan demikian tidak hanya dimiliki investor dari luar atau lembaga pembiayaan, toko pertanian, dan pihak lainnya, tetapi juga penduduk setempat yang mau terlibat dalam pengadaan pupuk organik untuk kentang. Maka keuntungan lain karena aplikasi pupuk organik dapat disebutkan di sini yaitu udara Dieng bebas dari bau tidak sedap dan racun sehingga penduduk bebas dari bahaya kesehatan, pariwisata juga terdongkrak naik, sampai dengan masalah konservasi. Khusus berkaitan dengan konservasi maka karena memakai pupuk organik maka erosi sampai dengan tahap tertentu dapat tertahan. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan pupuk organik menyerap air. Air hujan tidak serta merta jatuh dan mengalir ke bawah melainkan terserap dan disimpan tanah berpupuk organik.
Bagaimana halnya dengan masalah air dan penebangan pohon? Seandainya dengan pupuk organik pertanian kentang menjadi favorit lagi maka bukankah dimungkinkan tanaman kentang semakin meluas hingga memungkinkan penebangan pohon lebih banyak lagi. Dengan bertambahnya lahan maka pengambilan air dari telaga dan sumber air semakin banyak pula. Pada saat ini, petani memakai paralon dari sumber mata air atau telaga hingga ke lahan bagian atas yang jaraknya bisa mencapai 1-2 km. Karena itu paralon-paralon tersebut sangat banyak dan panjang melawati lahan-lahan, jalan, hutan hingga ke lahan bagian atas. Jadi apakah demikian yang akan terjadi? Maka jawabannya adalah pertama bahwa pada saat ini ketika pertanian kentang bukan favorit lagi, petani tetap saja menebang pohon dan memakai air dengan tidak bijak maka lebih baik mengajak petani memakai pupuk organik dan menekan penebangan pohon lebih banyak lagi. Kedua, petani dibawa pada pemahaman yang benar dan mendalam soal pupuk organic, bukan sekedar pelatihan pembuatan tetapi dasar-dasar mengapa pupuk organik penting sehingga mencakup misalnya ekologi tanah, pertanian yang ramah lingkungan dan berkelajutan, dan sebagainya. Maka pemahaman pupuk organik akan pula mencakup tentang bagaimana memanfaatkan air dengan bijaksana dan pentingnya penanaman pohon bagi petani sendiri. Daripada sekedar menyelamatkan dengan program-program konservasi yang sering tidak bersinggungan langsung dengan kebutuhan petani (pertanian kentang), maka lebih menarik tentunya bagi petani untuk menyelesaikan masalah lingkungan dengan memulainya lewat perbaikkan pertanian kentang dalam hal ini pupuk organik.