Siaran Radio Petani Gunung Rambut dari hutan Ngawi
Cerita siaran radio petani Dusun Gunung Rambut, Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, sebuah kawasan dalam hutan Ngawi (KPH Ngawi) pada tanggal 6 Agustus 2003 di RKPD Ngawi pukul 19.00 – 21.00 WIB. Pembicaraan dalam bahasa Jawa tetapi ditulis dalam tulisan ini dalam bahasa Indonesia. Mungkin akan ada beberapa kata dalam bahasa Jawa yang akan dipertahankan untuk memberikan arti atau konotasi lokal.
Dalam siaran tersebut, sebagai pembicara adalah seorang pegawai PTT
[1] di SDN Pitu II yang letaknya di Gunung Rambut dan seorang buruh tani asli Gunung Rambut. Ada pula Saya dan seorang pendamping teknis dari CV. Lembah Hijau Multifarm
[2] (Evi) untuk urusan detail pupuk dan pakan ternak. Dua orang dari Gunung Rambut (GR) tersebut menjadi narasumber untuk hal-hal yang akan dibicarakan dan untuk menjawab seandainya ada pertanyaan dari pemirsa karena acara ini live.
Headphone sudah ada di telinga mereka dan beberapa saat seorang buruh tani GR bernama Lanimen menyalakan rokok lalu menghisapnya dalam-dalam mencoba rileks. Saya sendiri mengamati jangan sampai mereka menjadi turun mentalnya gara-gara atmosfir studio RKPD. Saya sebetulnya lebih senang jika acara ini diselenggarakan di GR tempat mereka tinggal.
“Ini judulnya apa?” Tanya Moderator dari RKPD.
Kami saling berpandangan lalu pegawai PTT SDN Pitu II bernama Purwoko nyeletuk: ”Pengembangan Pupuk Organik di GR”. Saya sendiri sebetulnya setuju dengan “pemulihan”, tetapi bahasa seperti ini susah dimengerti dan akan sulit diukur keberhasilannya hanya dengan mengandalkan acara siaran radio ini. Pikir Saya, oklah, mungkin nantinya ke pemulihan ekonomi dan sosial.
Ucapan selamat malam dari Moderator disambung dengan kenyataan yang ia temukan sendiri bahwa pengajaran pupuk organik di beberapa kawasan desa di beberapa kecamatan di Ngawi yang cukup padat (luar kawasan hutan) tidak berkembang pada praktek. Artinya petani hanya menerima penyuluhan dinas-dinas tetapi tidak /jarang ditindalanjuti dengan membuat pupuk organik oleh petani. Saya juga mendengar bahwa beberapa desa yang disebutkan Moderator telah dibantu Dinas Infokom dengan maksud mendengarkan acara Kontak Tani di RKPD ini. Sedangkan petani GR pernah pula menerima bantuan berupa radio bekas dari yang Saya kumpulkan yang merupakan sumbangan pribadi orang-orang.
“Nama Saya Lanimen dari GR. Saya petani GR. Sampai saat ini Saya ketua dari Masyarakat Garis Hutan
[3]. Pekerjaan Saya sehari-hari adalah buruh tani..”
“Petani tetapi punya tanah?” Tanya Moderator
”Tidak punya tanah,”Jawab petani GR ini.
“Masak tanah se “kedok” (jengkal) nggak punya?” Tanya Moderator lagi.
“Punyaknya Mertua,” kata Lanimen.
Perkenalan lalu juga menyangkut Saya dan Evi dari CV. Lembah Hijau Multifarm. Lalu si Moderator bernama Bambang ini berbicara lain-lain supaya Kami juga bisa tampil dengan lebih santai dan tidak kaku. Ia juga memaparkan keheranannya bahwa kesempatan berbicara di RKPD ini dilakukan oleh petani dari GR (yang terpencil di tengah hutan).
“Terima kasih kepada RKPD Ngawi yang sudah memeberikan waktu dan kesempatan sehingga Kami bisa tampil dalam.. apa, Pak?” Tanya Purwoko.
“Dialog Kontak Tani,”jawab Moderator.
“Dialog Kontak Tani. Kami juga berterima kasih pada Dinas Pertanian Ngawi. Juga salam sejahtera bagi semua penduduk GR, dimana Kami bisa berbicara pada Kontak Tani ini. Sebelumnya Saya minta maaf kepada Pak Lurah dan Pak Camat, Kami lancing tidak memberitahu dulu bahwa GR akan ada acara siaran radio di Kontak Tani. Pertama kali di GR ada pupuk ini, Mas Anton
[4] yang memberitakan. Dolan-dolan. Sebetulnya tidak dolan, tetapi ngangkat, atau meneliti bagaimana to kesejahteraan penduduk hutan itu
[5]. Setelah tahu benar, Mas Anton menyimpulkan bahwa penduduk GR sangat susah hidupnya. Saya akan menjelaskan letak GR, GR berada di tengah hutan, kanan-kirinya hutan. Terus hidupnya dari apa? Ya Saya akui saja, orang di tengah hutan itu hidupnya dari hutan
[6]. Kalau hutannya habis, trus maua makan apa orang GR itu? La, ini, Dusun GR terbagi atas 4 RT, luas 53422 m2. Terus KKnya ada 186. Kalau dibagi 186 itu dan luasnya hanya 53422m2, itu berapa? Setiap KKnya hanya sekitar 280m2. Kurang lebih seluas itu, lha itu apa bisa makan?” Kata Purwoko.
“Nyatanya bisa makan..,”sela Moderator.
“Karena dari hutan itu Pak. Lha dari sini Mas Anton kleang-kleang Kami ajak bicara lalu tercetus, ayo buat pupuk organik untuk mengalihkan, kalau bisa makannya dari “tlethong”(kotoran sapi). Sebetulnya ya, tidak setuju,” kata Mas Purwoko.
“Tlethong diubah dulu kok,” kata Moderator
“Lha, Tlethong diubah dulu kalau sudah dijual. Bisa untuk makan. Tetapi nuwun sewu, Pak, GR itu mengajukan sapi saja (Program Dinas Kehewanan) malah nggak dapet. Betul itu Pak, Kami nggak omong kosong, betul,”kata Purwoko.
Saya sudah sampaikan kepada Bupati, bahwa program yang Kami lakukan selain menambah pendapatan juga untuk memberi percontohan bagi petani di Ngawi. Sebagai informasi, pakan ternak belum tersosialisasi di Ngawi. Bahkan mungkin belum diterapkan sama sekali. Bupati menjanjikan secara pribadi akan meminjamkan 15 ekor sapi betina. Tetapi sampai sekarang belum ada jawaban. “Pelan-pelan,” kata Bupati. Sedangkan petani Kami sudah lari ke depan.
Disampaikan juga tingkat pendidikan penduduk GR, yang terbanyak yaitu SD.
“Yang lainnya sudah jalan jauh, lha kok “sandalnya” ada yang ketinggalan. 55% SMP, lainnya tidak sekolah. Jarak dengan kota hanya 7 km, Pak,”kata petani GR.
“Sebetulnya dekat,”sela Moderator.
“Dekat, tetapi ya minta maaf, Expa hari jadi Ngawi tahun lalu (tahun 2003) Saya sampai kaget. Saya bersalaman dengan Pak Bupati sepanjang hidup Saya baru pertama kali itu. Salaman saja Saya sampai kaget: “GR itu mana, Mas?” Tanya Bupati saat itu. Sampai tidak tahu, Pak. Padahal itu dekat. Berbeda dengan Kecamatan Ngrambe atau Sine (sekitar Gunung Lawu). Pak Bupati hafal. Lha itu, Pak, sekilas tentang GR,”kata petani GR.
“Lha ya, kok tahu-tahunya lho (Saya). Lho, yang nyata, luas dan terang itu ada. Apa namanya GR itu dipuncaknya ada rambutnya gitu,”canda Pak Moderator.
Lalu pembicaraan selama beberapa menit mengenai bagaimana pupuk organik bisa berkembang dan diterima oleh penduduk GR. Cerita bagaimana petani melewati proses mendengar dan melihat (tour di Lembah Hijau-Solo), membuat pupuk organik dan mencobanya, bahkan menganalisa hingga akhirnya muncul rasa senang. Rasa senang atas pupuk ini pada awalnya terkait dengan kemudaha perolehan bahan baku dan bahan campuran serta masih murahnya produk teknologi berupa bakteri kompos. Tetapi setelah mengetahui bentuk fisik dan kemudahan penggunaan serta hasil panen, maka penerimaan terhadap produk lebih mantap.
“Ini begini, Pak. Sudah diungkapkan rekan Saya, bahwa pupuk tadi, awalnya hanya dibiayai oleh swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat itu bukn berarti Kami mengumpulkan uang dari masyarakat itu tidak lho, Pak. Jadi hanya kelompok, kelompoknya berapa, 8 orang. Lho kok dinamalan kelompok? Lha yang namanya tletong itu banyak yang jijik, lho Pak. Masing-masing lalu mengumpulkan kotoran sapi.”
Ini berkaitan dengan cerita Saya bahwa konotasi tletong di kalangan penduduk sendiri adalah negative. Seseorang disebut tletong berarti orang itu dicap sebagai ornga yang sering menipu. Masing-masing anggota kelompok mengumpulkan sampai 60 pikul sehari. Setelah dibuat, pupuk organik yang sudah jadi tidak dijual melainkan disebar k lahan sednrii dan lahan tetangga (sebagian anggota kelompok bahkan tidak banyak yang memiliki lahan).
“Sebetulnya Kami juga agak kuatir Pak. Karena tanaman kurang hijau. Lha, kok mau mati tanaman ini? Tetapi dibiarkan saja, Pak, ini karena pupuk kimia susah mencarinya karena transportasi. Setelah panen itu, nama petaninya Sadiran anaknya Pak Sadikun, kalau di GR itu namanya “Mbandang” (mengalir), Pak. Memikul satu sak itu berat sekali. Hal ini sudah Kami uatarakan sama Pak Bupati sewaktu Kami ikut seminar. Sekarang pupuk ada di Kecamatan Mantingan, salam buat Pak Muhadi, kelompok Pak Muhadi yang sudah memakai pupuk GR 4 ton dengan luas lahan 2 hektar. Ini Kami siaran radio di kontak tani RKPD, Mas Muhadi, moga-moga mendengarkn. Pupuknya berhasil itu. Mereka mengurangi pemakaian pupuk kimia tinggal 25% dari pemkaian sebelumnya.”
Pupuk GR memang sempat dicobakan oleh penduduk GR di lahan sekitar mata air. Hasilnya tidak bisa dihitung kiloan tetapi berdasarkan sak atau berat sak dibandingkan dengan sebeluumnya. Ada pula tanaman lain seperti tembakau dan lombok. Lokasi ujicoba pupuk GR dilakukan pula di Kecamatan Mantingan yang sangat jauh dari GR. Ini dimaksudkan agar uji coba tidak bisa Kami curangi tetapi Kami bisa tetap mendapatkan keterangan yang sebenarnya dari petani di Mantingan.
Lalu diceritakan secara detail oleh petani GR, bahan-bahan kompos: kotoran sapi, abu, kalsit, serbuk gergaji. Penjelasan juga menyangkut pembuatan kompos yaitu pengadukan setiap minggu selama 4 minggu. Soal panasnya pupuk sewaktu dalam pengolahan sampai 70 derajat celcius, pengayakan sampai dengan penyajian ke konsumen. Kami juga membandingkan dengan pupuk organik yang lain yang selama ini diajarkan ke petani. Saya sendiri mendengar bahwa untuk sosialisasi pupuk organik tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan 400 juta rupiah. Kami dalam siaran radio tidak menyebut pupuk tersebut tetapi yang dimaksud adalah pupuk bhokasi. Sebagai perbandingan, pupuk bhokasi bentuknya masih tletong, wajar saja sebab pembuatannya juga Cuma 5 hari. Per ha 3-4 ton. Pemakaian pupuk kimia dikurangi 25% dari pemakaian. Pupuk Kami, proses 1 bulan, bentuknya remah, per ha 1,5 ton, tidak bau, dan pengurangan pupuk kimia bisa mencapai 75%.
Moderator lalu bertanya bagaimana meyakinkan konsumen pupuk GR.
“Begini Pak, Kami dalam hal ini sedang membuat uji coba dengan Dinas Pertanian Ngawi. Ini baru saja lho Pak. Dengan Dinas Pertanian baru saja. Sebelumnya ya seperti “kelinci lepas” (“kelinci ucul” judul selingan acara). Tidak ada yang membantu. Yang membantu ya Mas Anton ini yang juga kayak kelinci lepas. Uji cobanya dengan tanaman padi. Kini Kami juga melangkah untuk tanaman melon di Desa Ngambong Kecamatan Pitu, dan tebu di Desa Papungan Kecamatan Pitu Kabupaten Ngawi.”
“Tanaman tebu di Papungan sedangkan padi dengan Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Pengkol, Kecamatan Mantingan Kabupaten Ngawi. Kelompok Sumber Rejeki itu baik Pak, tetapi ya itu Pak, sapinya, Pak. Kalau sapinya diberi gitu, kotorannya tidak kemudian mengangkut dari tetangga.”
“Bisa mengurangi kimia 50-75% Pak. Kalau di GR itu pakai organik. Kalau ¼ ha itu pakai (urea) 25 Kg sudah baik.”
“Jadi masih pakai urea tho?” Tanya Moderator.
“Iya, tapi kalau petaninya berani, bagaimana ini adanya kok mau mati? Kalau tidak tahan tidak apa-apa. Tetapi kebanyakan petani tidak tahan Pak, kalau dengan lingkungan. Kalau model petani Ngawi itu kan masih malu-malu soal “ijo-ijoan” (berlomba menghijaukan daun). Lha pupuk GR itu yang baku buahnya. Buahnya Saya jamin itu Pak.”
Dengan pupuk GR, per ha memang hanya 1,5 ton per ha. Dengan pemakaian pertama mengurangi pupuk kimia sampai 50% dari pemakaian biasanya. Pemakaian kedua hanya 25% dari biasanya. Selanjutnya hanya 1 Kw pupuk kimia saja per ha-nya.
“Tadi bicara kok sapi nggak punya, mbok yoo pemerntah meminjami,” kata Moderator.
“Dulu itu ada cerita lucu Pak. Sebetulnya program sapi kereman itu sudah survey ke GR. Lha, Saya dan teman-teman senang sekali. Akhirnya, hujan-hujan dengan Mas Anton mencari damen (jerami). Pikir Kami, ah wong pemerintah memikirkan rakyatnya, ya Kami menyediakan pakannya. Pakan yang jerami fermentasi itu baik Pak. Contohnya di Lembah Hijau, yang dimakankan ke sapinya ya tletong itu Pak. Lho kok tletong, iya wong tletongnya nanti dijual. Kalau sudah laku dibelikan jerami dan obat, jadilah jerami fermentasi, sangat bagus.”
“Wah, ini cocok jadi karyawan Lembah Hijau ini,” kata Modrator disambung tawa semua yang hadir di situ.
“Ndak hanya karyawan, asistennya Mbak Evi,” tertawa lagi.
“Ini Saya lanjutkan Pak. Hal-hal seperti itu belumbisa tertunjang, jadi penelitian detail kurang karena fasilitas kurang,” kata petani GR.
“Sudah pernah mengajukan sapi ke Dinas Kehewanan?” Tanya Moderator.
“Sudah, kemarin itu ditolak itu.”
“Alasannya?”
“Memang waktu itu ditanya, mau apa tidak mengembalikan sapi kalau sapinya mati? Ya Kami keberatan. Lha bagaimana untuk mengembalikan, wong untuk makan saja susah. Pendapatan di GR per KK 2000 rupiah per hari
[7]. Jadi Kami keberatan.”
“Nggak jadi dipinjami?”
“Ndak jadi, satu saja tidak, ya tletongnya tetap mengusung tadi Pak,”Kata petani GR.
Waktu itu Saya sendiri tidak ada di GR ketika ada survey dari Dinas Peternakan. Saat itu Saya di petani Kalikangkung-Blora untuk pendampingan yang lain. Menurut Saya, tidak bisa pertanyaan itu diajukan ke petani miskin di GR. Atau setidaknya ada alternative lain sehingga petani GR tetap bisa terlibat dalam program sapi kereman ini.
Waktu itu, niat Kami, selain meningkatkan pendapatan petani GR juga adalah memberi percontohan untuk integrated farming system di Ngawi yang saat itu masih sedikit sekali.
“Lha apa sudah ada kemasan sendiri untuk pupuk organik?” Tanya Moderator.
“Masih sak biasa, wong anggaranya belum ada. Ya itu, sekenanya. Biasanya kan kalau penjual yang baik kan barang itu disak, ditimbang, lalu dijahit. Ini ndak, dimasukkan sak, dijahit, lalu ditimbang. Ya ada yang 50Kg sampai 60Kg. Tetapi meski hanya dengan sak kualitasnya sangat baik,”kata petani GR.
“Tetapi sekarang ini kualitas itu lihat tulisannya,e. Meskipun ketika membeli ternyata tertipu,” kata Moderator.
“Ini begini, Pak. Kalau melihat jaminan itu gimana? Kalau petani GR itu, seperti yang terjadi di Watuwalang-Ngawi, petani yang beli pupuk didampingi sampai panen. Jadi yang mendampingi itu petani GR sendiri. Pernah panen ½ ha itu 4,9 ton dan laku semua. Rata-rata kenaikan hasil panen per ha 1,1-1,2 ton per ha, itu menurut konsumen lho Pak. Mereka kagum, bukan hanya dengan pada produk tetapi juga dengan GR, lho kok barang bagus datangnya dari sana: Lha, ya. Petani Watuwalang dan GR itu maju mana tho, kok orang sini beli produknya orang sana (GR).”Kata seorang juragan tani kepada teman-temannya,” kata Saya.
“Ok, sekarang kan waktu sudah mau habis, ada yang mau disampaikan oleh Mas Anton? Tentang rencana ke depan, seperti beras organik misalnya…” Tanya Moderator.
“Lha, begini Pak, beras organik itu sekarang kan banyak sekali. Tetapi orang-orang tidak tahu informasi yang disebut beras organik itu yang bagaimana karena beras organik itu adanya disana-sini di took. Kalau ada tulisannya beras organik lalu dibeli.Kalau Saya begini Pak, Saya punya angan-angan ini, ya nantinya petani GR tidak usah punya program yang muluk-muluk. Kalau bisa semua petani di GR itu pertama-tama memakai pupuk organik. Nantikan… lha ini Saya pernah kesiangan di GR lalu diajak makan dengan nasi organik bikinan petani GR sendiri,” Kata Saya.
“Orag di GR bisa membedakan?” Tanya Moderator.
“O ya, rasanya pulen dan tahan lama, begitu orang GR memberi komentar pada beras mereka,” kata Saya.
“Cita-cita Saya dan kelompok ini, kalau bisa semua penduduk di GR itu makan beras organik itu, bikian sendiri. Harapannya nanti kan orang kota pada ngiri tho Pak. Orang di GR yang katanya bodo, terbelakang, kuno, itu makannya kok sudah beras organik. Kalau Kami (Saya bersama kelompok ini) hanya mempublikasikan situasi ini nantinya. Ngabar-ngabari kalau orang GR sudah makan beras organik,”.
“Lha, kalau ada yang mau beli beras organik GR gimana?” Tanya Moderator.
“Ya, main ke sana (GR),”jawab Saya.
Ini salah satu program Saya agar muncul pemulihan karakter dari yang direpresif kepada resistensi positif. Di samping itu agar terjalin relasi yang kuat bukan hanya dengan sesama di dalam hutan tetapi dengan masyarakat luar kawasan. Banyak hal akan kembali, seperti terkupasnya stereotip negative terhadap penduduk dalam kawasan hutan. Resistensi dan penghapusan stereotip masih berlanjut sampai hari ini (22 April 2009) bahkan setelah siaran saat itu, Bupati dan Dinas-Dinas tidak menyentuh penduduk GR. Kelompok petani Mantingan mendapatkan bantuan hibah sekitar 40 juta rupiah. Sedangkan janji meminjami sapi oleh Bupati juga tidak turun. Petani GR kini berusaha dari bawah lagi, bahkan stater komposnya membuat sendiri.
[1] Pegawai PTT. Tetapi ia juga sering dan bahkan tercatat sebagai petani hutan. Sebagai penduduk hutan ia juga tidak terlepas dari aktivitas terkait dengan hutan seperti yang dilakukan tetangga sekitarnya.
2 CV. Lembah Hijau Multifarm adalah perusahaan pembuat stater untuk kompos. Saya dari awal gerakan berniat mengundang banyak pihak dari banyak bidang untuk ikut terlibat membantu penanganan masalah-masalah yang ada di GR, mulai dari rumah sakit, kelompok-kelompok agama, lembaga-lembaga penelitian, LSM, media surat kabar, radio maupun televisi, pemerintah daerah, bahkan pribadi-pribadi yang tidak sedikit keterlibatannya dalam penangan masalah.
3 Masyarakat Garis Hutan adalah kelompok petani GR terdiri dari 8 orang. Saya melibatkan banyak kegiatan dengan mereka. Aktivitas sosial sampai dengan riset sosial Kami lakukan bersama-sama.
4 Anton, nama Saya.
5 Saya sangat senang melakukan penelitian, semi etnografi. Penelitian saya yang pertama tentang pedagang Malioboro telah dibukukan, harapan saya pendampingan ini juga bisa dibukukan, merekam kehidupan penduduk hutan sehingga berguna untuk membentuk strategi baru bagi pihak-pihak yang akan berniat membantu peningkatan hidup penduduk di hutan Ngawi.
6 Ada aturan bahwa yang masuk kategori kayu bakar lelang adalah kayu dengan diameter 2-4 cm. Kalau dikritisi, semua bahan kayu yang digunakan penduduk hutan untuk arang maupun dijual untuk kayu bakar ke luar hutan, lebih dari diameter 4 cm. Meski penduduk hutan memperoleh pendapatan dari kayu bakar dan arang tetapi Kami enggan untuk memasukkan hal ini sebagai pendapatan. Bagaimana sebuah pendapatan tetapi diperoleh dari pekerjaan illegal?
7 Saya pernah melakukan riset mengenai pendapatan legal penduduk hutan. Saya memilih beberapa lokasi di dalam hutan. Ternyata pendapatan dari pekerjaan legal adalah sekitar Rp. 500 per keluarga. Kalau dilihat penduduk hutan punya beras tetapi beras didapat lewat aktivitas illegal yaitu membuka sawah di sepanjang aliran mata air di kawasan Perhutani. Mereka bisa banyar sekolah, pajak, kebutuhan rumah tangga sebab selain pekerjaan legal (kebanyakan menggarap lahan milik Perhutani) mereka juga mengusahakan pekerjaan illegal seperti pecah batu dan mencuri kayu. Meski demikian beberapa penduduk terbilang mampu namun hanya sedikit saja. Sedangkan yang miskin banyak. Biasanya karena hasil pertanian dan perkebunan yang tidak menunjang atau bekerja sebagai buruh tani (terutama tebu) dengan pendapatan yang minim saja. Seorang petani kecil memperoleh panen kedelai 12 Kg dari lahan ¼ ha misalnya, padahal ada biaya pupuk dan tenaga.